Upik say's:

26 Okt 2011

Harta Berharga itu adaLah Waktu


HARTA BERHARGA ITU ADALAH WAKTU

oleh Yusuf Mansur Network pada 21 Oktober 2011 jam 11:11
 Tidaklah Allah bersumpah dalam al-Quran dengan meggunakan kata waktu, wal-‘ashri, wad-dhuha, wal-laili, bis-syafaqi, wal-fajri, dan sebagainya, kecuali semuanya mengisyaratkan tentang betapa pentingnya waktu. Dimaksudkan agar manusia disiplin penuh perhatian terhadap masa hidupnya.

Waktu yang Allah berikan kepada kita lebih berharga daripada emas karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Seorang Muslim tidak pantas menyia-nyiakan waktu luangnya untuk hanya bercanda, bergurau, main-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena ia tidak akan pernah mampu mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang mengabaikan waktunya, maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana kerugian orang sakit, dia merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya.

Di dalam perjalanan para ulama’ terdahulu terdapat banyak contoh yang mencengangkan bagaimana mereka menggunakan umurnya yang mampu mendorong kita agar benar-benar menjaga detik-detik ini. Para pendahulu kita dengan keterbatasan dana, teknologi, tidak ada listrik, printer, dan sejenisnya, namun amal mereka tak mampu ditandingi oleh manusia sekarang. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk berjuang di jalan Allah, menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, berdzikir, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.

Seorang murid dari Al Alusi Al-hafidh, Bahjah Al-Atsari berkata: “Saya teringat bahwa saya tidak datang belajar pada suatu hari karena hujan dan angin kencang. Kami kira Al-Alusi tidak datang mengajar. Keesokan harinya beliau berkata: “Tidak ada kebaikan bagi orang yang terpengaruh oleh panas dan hujan untuk tidak belajar”.

Di antara sikap yang menakjubkan dalam menghargai waktu adalah Ibnu Taimiyah (590 H). Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa mengajar, menulis, dan ibadah lainnya. Pada waktu masuk kamar kecil pun beliau meminta seseorang untuk membacakan kitab kepadanya dari luar.

Ibnu Rojab berkata: “Hal ini menunjukkan betapa kuat dan tingginya kecintaan beliau untuk mendapatkan ilmu dan memanfaatkan waktu”. Murid beliau, Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa beliau di saat sakitpun masih sempat membaca dan menelaah ilmu. (Roudhotut Tholibin)



Di antara menyia-nyiakan umur pula adalah sibuk dengan sesuatu yang tidak penting. Berasyik-ria dengan kegiatan yang remeh temeh. Seperti main catur, domino, menonton TV, baca desas-desus berita koran, nonton berita ghibah, SMS atau bicara di HP dengan sesuatu yang tidak penting. Sehingga banyak ketinggalan ilmu yang seharusnya ia miliki.

Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimana keinginan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab: “Ibarat seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya dan ia tidak memiliki anak kecuali anak tersebut.”(Adabus-Syafi’I wanaqibuh, Ar-Rozi, dinukil dari Ma’aalim fit-thoriqi thlabil ‘ilmi hal.41).

Bandingkanlah pemandangan antara Imam Syafi’I yang haus ilmu dengan orang-orang sekarang. Di kantor ia banyak ngobrol, meski banyak orang sedang membutuhkannya. Di rumah ia hanya nonton TV padahal banyak waktu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Bahkan nongkrong malam hari hanya untuk mengejak kesia-siaan.

Waktu lewat begitu saja dengan kelebihan jam tidur, banyak makan, banyak berleha-leha dan santai. Sehingga yang timbul justru panjang angan-angan, menunda-nunda pekerjaan, menunda taubat. Terutama antara adzan dan iqomah tidak digunakan untuk berdo’a, atau berdzikir, membaca al-Qur’an, mengulang hafalan, muhasabah, muroja’ah dan sebagainya

Bersyukur sebagai Obat Stress


Harga terus melonjak naik, sementara lapangan pekerjaan makin susah. “Jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah, “ demikian rakyat kecil sering mengeluh.
Sementara di saat yang sama, sebagian orang menumpuk-numpuk harta dengan cara mengambil hak orang lain. Seperti banyak yang terjadi saat ini,  sebagian orang mendapatkan harta dari hasil “memeras” orang lain. Mereka harus menipu atau melakukan korupsi dan berbagai cara-cara yang tidak halal.

Padahal semestinya uang tersebut diperuntukan bagi kemaslahatan orang banyak, namun karena banyak tangan-tangan jahil, harta yang seharusnya merata secara adil dinikmati oleh seluruh masyarakat, hanya dinikmati/dimiliki oleh sebagian kecil orang. Mereka mengira, selagi muda dan punya jabatan, kesempatan mengumpulkan harta agak menjadi modal baginya meraih ketenangan hidup dan kebahagiaan.

Antara  harta dan ketenangan hati, sesungguhnya dua hal yang berbeda, yang tak ada hubungannya. Sebab, banyak orang berlimpah tapi dia tak mampu merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Ia mampu menyewa hotel dan membeli tempat tidur yang mewah, namun tak bisa membeli rasa nyenyak.
Sementara di saat yang sama, banyak orang bisa bahagia dan tenang meskipun dengan harta yang minim. Di jalan, banyak kita saksikan tukang becak bisa mendengkur menikmati tidurnya, meski badannya tak cukup untuk duduk di kendaraan sederhana itu.

Sifat qana’ah inilah yang mampu menjadi salah satu potensi positif setiap manusia. Sikap qana'ahbanyak didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT pada setiap manusia. Qana\'ah sering menjadi energi kehidupan dan membangkitkan semangat. Hal itu tidak lain dapat dijalani dengan cara menikmati hidup walaupun dengan segala kesederhanaan.

Orang yang selalu bersyukur tak akan dibuat pusing oleh kompleksnya warna-warni kenikmatan dunia di sekitar. Selalu menerima jatah pemberian Allah SAW. Sebab dia yakin bahwa, tiap manusia memiliki jatah rizki masing-masing yang dibagi secara adil oleh Allah SWT.

Sebagaimana dalam al-Quran, ”Dan tidak ada makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan dijamin oleh Allah rizkinya.”  (QS. Hud: 8).

Sebaliknya, manusia yang tak pernah puas dengan materi yang diperoleh adalah manusia yang rentran terhadap stres, hatinya redup bahkan mati – walaupun hartanya melimpah. Hati yang mati dan gundah cenderung tidak mudah menerima kenyataan, sehingga apa yang didapat tidak pernah memuaskan.

Maka, jika kita ingin mengubah diri menjadi orang yang selalu bahagia, ceria dan tersenyum di berbagai kondisi, kini saatnya untuk mengubah cara pandang. Cara pandang positif, yaitu selalu bersyukur dengan karunianya dan hidup sederhana. Cara pandang lama, selalu tidak puas dengan rizki cepat-cepat dibuang saat inijuga.

Rasulullah SAW bersabda:“Jadilah kamu seorang yang wara’, nanti kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah, jadilah kamu seorang qanaah, nanti kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah, sedikitkanlah ketawa kerana banyak ketawa itu mematikan hati.” (HR. al-Baihaqi).

Orang yang qana’ah adalah orang yang tidak meletakkan kenikmatan dunianya di hati, ia senantiasa bersyukur apa yang sudah menjadi jatahnya.

Sedang, orang yang tidak bersyukur selalu dibuat pusing oleh kenikmatan yang diperoleh orang lain. Jika tetangganya bisa membeli satu mobil, dia terkungkung oleh ambisi untuk melebihinya, mampu membeli dua mobil. Jika belum bisa, ia dikejar perasaan tidak puas, makan pun tak enak, tidur juga tidak tenang. Sebabambisinya belum tercapai.

Itulah pentingnya kita simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:“Lihatlah orang yang lebih bawah daripada kamu, jangan melihat orang yang tinggi daripada kamu, karena dengan demikian kamu tidak akan lupa segala nikmat Allah kepadamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Di kesempatan lain Nabi bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan bentuk (rupa), maka lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bisa jadi apa yang kita miliki dengan segala keterbatasan, tidak dimiliki orang lain. Sehingga walaupun yang kita miliki terbatas, jelek dan tak bermakna akan menjadi lebih bernilai jika kita melihat orang lain yang masih ada di bawah kita. Di saat itulah, kita bisa bersyukur masih bisa memiliki sesuatu yang sedikit, sedangkan banyak orang lain yang tidak memilikinya. Makanya, dalam soal materi, janganlah melihat kepada orang yang di atas (yang memiliki banyak harta) akan tetapi lihatlah orang yang masih di bawah kita.


Oleh sebab itulah, qana'ah dan syukur adalah salah satu tanda berkualitasnya iman seseorang. Sedang hasud dan dengki adalah ciri nafsu yang terbelenggu syetan. “Hakikat syukur adalah mengakui nikmat yang diberikan Allah diikuti perasaan tunduk pada-Nya” kata Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Syukur tidak hanya diucap lisan. Syukur hakiki ada ada perasaan dalam hati, bahwa ia puas dengan apa yang telah diberi Allah.

Apabila hati tunduk, maka akan diikuti oleh organ-organ tubuh lainnya untuk tunduk pada-Nya. Inilah yang disebut ta’at. Seorang manuisa tidak disebut patuh kecuali ia buktikan dengan ta’at pada semua perintah-Nya. Berarti, aktifitas syukur itu biasanya adalah melibatkan hati dan organ tubuh.

Dalam Kitab al-Ghunyah Syeikh al-Jilani membagi syukur menjadi tiga; “Syukur dengan lisan, yaitu mengakui adanya nikmat Allah dan merasa tenang. Syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian kepada-Nya. Serta Syukur dengan hati, yaitu ketenangan diri atas keputusan Allah dengan senaniasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan.

Tentang bagaimana cara bersyukur, kitab al-Ghunyah memberi arahan; Pertama, syukur dengan lisan, yakni dengan cara  mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada diri kita sendiri, daya, kekuatan atau usaha kita. Tidak pula disandarkan kepada orang lain yang melakukan dengan tangan mereka karena kamu dan mereka hanyalah sebagai perantara, alat dan sarana terhadapnya, sedangan penentu, pelaksana, pengada dan penyebabnya hanyalah Allah. Allah lah yang menentukan dan menjalankan sehingga Dia lebih berhak untuk disykuri dari selain-Nya.

Kedua, syukur dengan hati. Yaitu keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh. bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan, baik lahir maupun batin, gerakan maupun dia kita, adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya. Dan syukurnya  isan merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hati.

Ketiga, syukur dengan perbuatan. Bersyukur dengan anggota badan adalah  dengan cara menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah, bukan untuk selainnya. Tidak memenuhi seruan orang yang mengajak untuk menentang Allah. Hal ini juga mencakup jiwa, hawa nafsu, keinginan, cita-cita dan makhluk-makhluk lainnya. Menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai dasar yang diikuti dan pemimpin, sedangkan selainnya dijadikan hamba, pengikut dan makmum.

Allah SWT berfirman: ”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS Al-Dhuha: 11).

Bersyukur sesungguhnya juga menjaminkan rizki. Semua jenis syukur tersebut tidak lain adalah taqwa kepada-Nya. Taqwa sebagaiman pernah difirmankan-Nya mendatangkan rizki. “Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak).” (Q.S al-Nahl:97).

Bila kita mau lakukan langkah-langkah itu, jiwa tak akan terbelenggu oleh ambisi duniawi, tidak terpenjara oleh nafsu dan hati pun lapang. Tidak stres dan gundah. Bahkan bisa merubah seseorang menjadi yang pemurah, walau tak berkantong tebal. Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dibalik Doa Yang Belum Terkabul


Ada seseorang yang rajin berdoa, minta sesuatu sama Allah. Orangnya sholeh. Ibadahnya baik. Tapi doa tak kunjung terkabul. Sebulan menunggu masih belum terkabul juga. Tetap dia berdoa. Tiga bulan juga belum. Tetap dia berdoa. Hingga hampir satu tahun doa yang ia panjatkan, belum terkabul juga. Dia melihat teman kantornya. Orangnya biasa saja. Tak istimewa. Sholat masih bolong-bolong.

Kelakuannya juga sering nggak beres, sering tipu-tipu, bohong sana-sini. Tapi anehnya, apa yang dia doain, semuanya dipenuhi. Orang sholeh ini pun heran. Akhirnya, dia pun dateng ke seorang ustadz. Ceritalah dia permasalahan yang sedang dihadapi. Tentang doanya yang sulit terkabul padahal dia taat, sedangkan temannya yang bandel, malah dapat apa yang dia inginkan.

Tersenyumlah ustadz ini. Bertanyalah si ustadz ke orang ini. Kalau Anda lagi duduk di warung, kemudian datang pengamen, tampilannya urakan, maen musiknya gak bener, suaranya fals, bagaimana? Orang sholeh tadi menjawab, segera saya kasih pak ustadz, gak nahan ngeliat dan ndengerin dia lama-lama di situ, sambil nyanyi pula.

Kalau pengamennya yang dateng rapi, main musiknya enak, suaranya empuk, bawain lagu yang kamu suka, bagaimana? Wah, kalo gitu, saya dengerin ustadz. Saya biarin dia nyanyi sampai habis. Lama pun nggak masalah. Kalau perlu saya suruh nyanyi lagi. Nyanyi sampai sealbum pun saya rela. Kalau pengamen tadi saya kasih 500, yang ini 10.000 juga berani, ustadz.

Pak ustadz pun tersenyum. begitulah nak. Allah ketika melihat engkau, yang sholeh, datang menghadap-Nya, Allah betah ndengerin doamu. Melihat kamu. Dan Allah pengen sering ketemu kamu dalam waktu yang lama. Buat Allah, ngasih apa yang kamu mau itu gampang betul. Tapi Dia pengen nahan kamu biar khusyuk, biar deket sama Dia. Coba bayangin, kalo doamu cepet dikabulin, apa kamu bakal sedeket ini? Dan di penghujung nanti, apa yang kamu dapatkan kemungkinan besar jauh lebih besar dari apa yang kamu minta.

Beda sama temenmu itu. Allah gak mau kayaknya, dia deket-deket sama Allah. Udah dibiarin biar bergelimang dosa aja dia ini. Makanya Allah buru-buru kasih aja. Udah. Jatahnya ya segitu doang. Gak nambah lagi.

Dan yakinlah, kata pak ustadz, kalaupun apa yang kamu minta ternyata gak Allah kasih sampai akhir hidupmu, masih ada akhirat, nak. Sebaik-baik pembalasan adalah jatah surga buat kita. Nggak bakal ngerasa kurang kita di situ.
Tersadarlah orang tadi. Ia pun beristighfar, sudah berprasangka buruk kepada Allah. Padahal Allah betul-betul amat menyayanginya.